Newest Post
// Posted by :Unknown
// On :Kamis, 14 Februari 2013
Kenal
tokoh Oom Pasikom? Si Oom yang satu ini selalu tampil bertopi. Ia
juga berjas-dasi. Di bawah leher tergantung lembaran kain kecil,
lambang status yang dipertahankannya secara fanatik. Muncul pertama
kali pada Oktober 1969 di Harian Kompas, si Oom yang lahir dari kartunis G.M. Sudarta ini masih nongol sampai kini.
Majalah Mingguan Berita Tempo pun
selalu menyajikan kartun karya Prijanto S. dalam setiap
penerbitannya. Kartun Pris, nama yang selalu ia cantumkan dalam
karyanya, tampil menggelitik dan penuh sindiran.
Oom
Pasikom dan kartun karya Pris pun hadir mewakili tingkah polah
komunitas masyarakat sekelilingnya. Ini pas dengan pemahaman arti
kata kartun, sebagai sebuah gambar atau serangkaian gambar yang
memuat cerita atau pesan dalam wujud sindiran atau humor, tulis The World Book Encyclopedia, 1992.
Sementara
pengertian kartun seperti yang sekarang kita pegang dicanangkan
pada 1843 di Inggris. Ketika itu ajang kompetisi dan pameran kartun
besar-besaran digelar di masa kekuasaan Ratu Victoria dan Pangeran
Albert. Objeknya, dinding House of Parliament.
Kata “kartun” sebenarnya berasal dari bahasa Italia, cartone yang
berarti kertas. Pada masa itu para seniman negara ini memang getol
membuat sketsa untuk gambar gedung, permadani, atau gambar mozaik
pada kaca.
Para
kartunis umumnya menggambar lima hal: editorial, politik, komik,
majalah, ilustrasi, dan animasi. Banyak kartunis editorial
menggunakan bentuk karikatur untuk menampilkan kelucuan orang-orang
terkenal.
Komik
atau bentuk kartun lainnya, kebanyakan merupakan kombinasi antara
kata dan gambar, tetapi banyak juga yang hanya menggunakan gambar.
Penonjolan bagian tertentu biasa dibikin untuk menguatkan karakter
gambar. Kepala yang sebenarnya cuma seperdelapan badan, dalam
kartun bisa muncul menjadi sepertiga atau setengahnya. Dengan
memperbesar ukuran badan seperti kepala, kartunis leluasa
memasukkan ekspresi wajah. Senyuman, ejekan, atau kerdipan kelopak
mata menjadi lebih berarti, tulis Encyclopedia Americana, 1976.
Jauh
ke masa silam, gambar karikatur sudah ditemukan di
dinding-dinding dan jambangan bunga pada zaman Mesir kuno dan
Yunani kuno. Bahkan seniman Prancis, Honore Daumier (1830 - 1870),
dari zaman pertengahan, dikenal sebagai bapak kartun modern. Ia
mengkarikaturkan para pemimpin Prancis untuk koran dan majalah di
negaranya. Daumier bahkan sempat dijebloskan ke hotel prodeo tahun
1832 gara-gara mengkarikaturkan Raja Louis Philippe.
Salah
satu kartunis koran politik terkemuka dari tahun 1900 adalah Sir
David Low asal Selandia Baru. Memulai kariernya pada 1914 dan
pindah ke London pada 1919. Ia memunculkan karakter pada diri
“Colonel Blimp” sosok militer tua yang reaksioner.
Sementara
pada kurun waktu 1930 - 1940, buku-buku komik sangat populer.
Begitu pula sesudah PD II (1935 - 1945) komik-komik humor kembali
populer.
Di Indonesia, menurut buku Komik Indonesia karangan Marcel Bonneff, Komik Timur muncul berkat surat kabar besar Sin Po.
Tahun 1930, surat kabar itu setiap minggu memuat komik strip yang
menceritakan berbagai petualangan tokoh jenaka, karya komikus muda
Kho Wang Gie.
Awal
1931, tokoh gendut Put On untuk pertama kalinya muncul, dan
segera akrab dengan pembaca. Put On digambarkan sebagai si gendut
yang baik hati, tetapi bodoh, yang sok pintar namun selalu gagal.
Kemunculan
kartun di harian atau mingguan tentu tak terbayangkan pada masa
dulu. Pada masa awal perkembangannya, kartunis koran atau majalah
harus langsung menggambar di atas blok kotak kayu (bisa dipakai
berulang-ulang untuk membikin kopi). Setelah gambarnya pasti, bisa
dengan pensil atau pena, pengukir lantas mengukirnya sesuai garis
coretan. Proses ini membutuhkan waktu paling tidak 24 jam.
Sejalan
dengan berkembangnya proses cetak dan separasi warna, kini para
kartunis sebenarnya punya peluang mengeksplorasi gambar yang lebih
“berwarna”. Tetapi rupanya mereka percaya nuansa hitam putih
masih jauh lebih menggelitik. Anda percaya?
http://www.artikelpintar.com/2010/10/asal-usul-kartun.html